Lonjakan Minat Rumah Tapak: Tren Sesaat atau Perubahan Preferensi?

28 Apr 2025

oleh: Meivy Helen Dompas

Beberapa tahun terakhir, tren properti di Jabodetabek mengalami perubahan yang signifikan. Jika sebelumnya apartemen menjadi primadona, kini rumah tapak kembali diminati oleh konsumen dan investor. Data menunjukkan lonjakan permintaan yang pesat, terutama di kawasan suburban seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Mengapa tren ini berubah? Apakah rumah tapak kini menjadi investasi properti yang lebih menguntungkan dibanding apartemen? Artikel ini akan mengupas berbagai faktor di balik fenomena ini dan dampaknya bagi pasar properti.

Tren Kenaikan Permintaan Rumah Tapak

Pasar rumah tapak di Jabodetabek menunjukkan pertumbuhan yang konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang diolah dari laporan riset pasar properti menurut beberapa konsultan properti multinasional1, pasokan rumah tapak di Jabodetabek terdata mencapai ±450.000 unit pada tahun 2024 dan memiliki rata-rata pertumbuhan 3,6% sejak 2019 hingga 2024. Pasokan ini diproyeksikan akan mencapai sekitar ±490.000 unit pada 2027. Selain itu, tingkat penjualan atau sales rate rumah tapak tercatat mengalami peningkatan, dari 82% di tahun 2019 hingga 90% di tahun 2024.

Hal ini menunjukkan bahwa permintaan tetap kuat meskipun pasokan meningkat. Kawasan seperti Tangerang, Cibubur, dan Cikarang menjadi pusat pertumbuhan baru karena harga yang lebih kompetitif dibandingkan properti di pusat kota.

Source: RES Research, 2024, Cushman & Wakefield Greater Jakarta Marketbeat, 2024; Jones Lang Lasalle Jakarta Property Market Update, 2024

Menurut data terbaru, penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mengalami pertumbuhan positif sepanjang 2024. Dikutip dari liputan Kontan pada Februari 2025, PT Bank Negara Indonesia (BNI) mencatat total KPR mencapai Rp66,5 triliun di Indonesia, meningkat 13,8% (yoy). Pertumbuhan ini didukung oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) yang memperpanjang insentif Loan to Value (LTV) hingga 100%, memungkinkan pembelian dengan DP 0%. Kebijakan ini berlaku efektif sejak Maret 2021 dan telah diperpanjang hingga Desember 2025. Selain itu suku bunga KPR juga dianggap tetap kompetitif, sehingga mendorong daya beli masyarakat terhadap rumah tapak.

Namun, apakah kenaikan permintaan ini hanya tren sesaat atau ada faktor mendasar yang benar-benar mengubah preferensi konsumen? Mari kita lihat lebih dalam.

Faktor Pendorong Lonjakan Permintaan

1. Perubahan Pola Kerja (Remote dan Flexible Working)

Pandemi telah mendorong sistem kerja jarak jauh, yang kini sudah menjadi hal umum di banyak perusahaan. Berdasarkan survei Remote Skills Academy tahun 2023, 67% karyawan lebih memilih bekerja dengan sistem hybrid. Hal ini tentu mempengaruhi preferensi pemilihan lokasi hunian, di mana berlokasi dekat ke kantor sudah tidak menjadi faktor penentu utama. Sehingga, rumah tapak di pinggiran kota dapat menjadi pilihan ideal karena menyediakan ruang kerja yang lebih luas, yang sulit ditemukan pada apartemen berukuran kecil.

2. Peningkatan Entrepreneur Muda

Generasi muda saat ini cenderung lebih berani memulai usaha sendiri. Berdasarkan data Statistik Pertumbuhan UMKM di Indonesia, tercatat peningkatan sejumlah 6,2 juta unit usaha UMKM pada 2023 dibandingkan tahun 2019. Riset Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia tahun 2023 (dikutip dari Antara News) menunjukan bahwa 98% pemilik usaha didominasi oleh generasi Milennial dan Gen Z. Peningkatan jumlah usaha UMKM ini menjadi bukti bahwa semakin banyak pelaku bisnis yang memulai dari usia muda. Para enterpreneur muda ini cenderung memulai bisnis berbasis rumah, seperti coffee shop kecil, toko online, usaha kerajinan tangan, hingga manufaktur ringan skala rumahan.

Pergeseran kalangan muda ke dunia entrepreneurship ini juga membuat rumah tapak menjadi pilihan ideal karena fleksibilitas yang ditawarkan untuk dapat menjalankan usaha-usaha kecil dari rumah tinggal.

3.Perubahan Preferensi Generasi Milenial dan Gen Z

Sebelum pandemi COVID-19, apartemen dianggap sebagai pilihan ideal bagi generasi muda yang ingin tinggal dekat pusat kota, sebagai tempat bekerja dan juga tempat bersosialisasi. Namun, sebuah analisis dari Jakpat, sebuah perusahaan mobile survey, di 2023 menunjukkan bahwa 69% dari Gen-Z yang memiliki keinginan untuk membeli properti ternyata berminat untuk membeli lahan kosong. Sekitar 32% menjawab berminat membeli rumah tapak dan hanya 29% yang berminat membeli apartemen. Survei merupakan pertanyaan multiple answer dengan responden lebih dari 1000 orang dari kalangan Gen-Z.

Adakah sejumlah alasan yang mendorong pergeseran preferensi ini? Beberapa hipotesis diantara lain:

  • Pandemi mengubah pola kerja banyak orang. Namun hal ini lebih terasa kalangan Gen-Z yang baru saja masuk ke dunia kerja disaat revolusi flexible working terjadi. Gen-Z, tidak memiliki dorongan keharusan untuk berada di lingkungan yang formal dan serius seperti halnya Gen-X dan Baby Boomers.
  • Gen-Z juga merupakan generasi yang cenderung lebih dekat dengan orangtua mereka, ketimbang generasi sebelumnya yang menjalani didikan rumah yang lebih keras dan cenderung lebih mandiri. Hal ini membuat kalangan muda Gen-Z lebih mudah menyerap pola-pola pikir dari orangtua mereka, termasuk sudut pandang terkait versi aset hunian yang ideal.
  • Berbeda dengan generasi Millennials yang cenderung memaksakan keuangan untuk memiliki aset hunian di usia muda, Gen-Z cenderung lebih menerima situasi keuangan yang lebih sulit dan lebih rela menunda rencana kepemilikan aset hunian. Hal ini membuat mereka lebih terbuka kepada tipe aset yang ideal menurut versi mereka (termasuk lahan kosong untuk dapat dibangun rumah impian di kemudian hari), tanpa harus memaksakan sebuah aset hunian berdasarkan keterjangkauan harga.

4. Perkembangan Infrastruktur yang Meningkatkan Aksesibilitas

Pemerintah terus mengembangkan infrastruktur transportasi di Jabodetabek. Langkah strategis ini tidak hanya bertujuan mengurai kemacetan dan meningkatkan konektivitas antarwilayah, tetapi juga mendorong minat masyarakat terhadap hunian rumah tapak di area suburban. Beberapa proyek infrastruktur transportasi yang cukup berkontribusi terhadap peningkatan minat rumah tapak, diantaranya:

Infrastruktur yang sudah beroperasi dan dampaknya:

  • Tol Jakarta-Cikampek Elevated II (Tol layang MBZ): Mempercepat akses ke kawasan industri di Karawang dan sekitarnya.
  • LRT Jabodebek: Menghubungkan Jakarta dengan kota satelit seperti Cibubur dan Bekasi, memberikan opsi transportasi umum ke area-area yang sebelumnya belum terjangkau KRL.
  • MRT Jakarta Fase 1 (Bundaran HI-Lebak Bulus): Meskipun pada awal operasionalnya belum memberikan dampak langsung, namun dalam beberapa tahun terakhir MRT telah menjadi pilihan moda transportasi utama bagi komuter yang bekerja di pusat kota. Dampak kepada permintaan hunian juga semakin terasa di area sekitar Ciputat dan Cirendeu yang berjarak tidak terlalu jauh dari stasiun lebak Bulus.
  • Peningkatan Kualitas KRL: Perbaikan kualitas gerbong, modernisasi stasiun, dan peningkatan ketepatan waktu telah meningkatkan kenyamanan bagi para pengguna di wilayah penyangga (pinggiran kota).
  • Penambahan Rute Transjakarta ke Bodetabek: Rute baru yang menjangkau wilayah seperti Kota Wisata, Alam Sutera, Pantai Indah Kapuk, hingga Binong, akan semakin memperkuat konektivitas antar wilayah.
  • Integrasi Moda Transportasi: Transjakarta, KRL, MRT, hingga LRT memberikan kemudahan untuk mendekatkan hunian di area pinggiran dengan aktivitas di pusat kota.

Infrastruktur mendatang yang berpotensi mengubah lansekap permintaan hunian:

  • Tol Serpong-Balaraja: Menghubungkan Tangerang Selatan dengan Kabupaten Tangerang, berpotensi membuka pertumbuhan permukiman-permukiman baru di sepanjang koridor barat.
  • Pengembangan MRT fase 2 (Bundaran HI-Ancol): Reputasi MRT yang selama ini sangat baik membuat banyak penduduk menantikan konektivitas baru yang akan terbuka.

Dengan infrastruktur yang semakin memadai, banyak masyarakat kini merasa tidak perlu tinggal mendekat ke tengah kota lagi. Rumah tapak di kawasan suburban menjadi solusi ideal, karena menawarkan harga lebih terjangkau didukung kemudahan akses menuju pusat aktivitas berkat dukungan infrastruktur yang meningkat dan terintegrasi.

5. Insentif dan Kebijakan Pemerintah yang Mendorong Daya Beli

Pemerintah memberikan beberapa insentif yang membuat rumah tapak semakin terjangkau, antara lain:

  • Kebijakan LTV yang fleksibel, termasuk diizinkannya DP 0% untuk rumah pertama, yang membantu generasi muda memiliki rumah tanpa harus mengumpulkan dana awal yang besar.
  • Relaksasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian properti di bawah Rp2 miliar.
  • Suku bunga KPR (fixed-rate) yang lebih rendah, saat ini berada di kisaran 5-6%, level terendah dalam lima tahun terakhir menurut data BI.

6. Meningkatnya Minat terhadap Konsep Smart Home dan Sustainability

Tren properti juga berkembang ke arah hunian berbasis teknologi dan keberlanjutan. Banyak pengembang kini menawarkan rumah tapak dengan konsep smart home, dilengkapi dengan:

  • Sistem keamanan digital (CCTV, smart lock, alarm otomatis).
  • Otomatisasi rumah (lampu pintar, AC yang dapat dikontrol dari ponsel).
  • Konsep eco-living, seperti panel surya dan sistem pengelolaan air hujan untuk efisiensi energi.

Bagi calon pembeli hunian masa kini, fitur (dan gimmick) ini menjadi nilai tambah yang sayangnya masih jarang ditemukan pada produk apartemen, terutama di segmen menengah.

Rumah Tapak vs. Apartemen: Perbandingan Pasar

Berikut ini adalah perbandingan antara rumah tapak dengan apartemen, terutama untuk konteks Jadebotabek dan Surabaya dimana pasar apartemennya sudah cukup matang.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa dalam kondisi pasar saat ini, rumah tapak lebih menarik sebagai pilihan jangka panjang disaat apartemen masih dalam proses menemukan kestabilan pasar akibat over-development yang terjadi di masa lalu.

Tantangan dan Risiko di Masa Depan

Meski tren rumah tapak terus naik, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan:

  1. Kemacetan di Kawasan Suburban: Dengan berkembangnya kawasan-kawasan suburban, begitu juga dengan populasi kendaraan pribadi yang langsung memperburuk kemacetan di jalur-jalur utama.
  2. Risiko Ketimpangan Permintaan di Kawasan Suburban: Lonjakan minat terhadap rumah tapak di kawasan suburban tidak selalu merata, karena kondisi aksesibilitas dan infrastruktur yang berbeda-beda. Kawasan seperti BSD, Gading Serpong, dan sekitarnya berkembang pesat karena memiliki infrastruktur dan fasilitas lengkap. Kenaikan harga cenderung fantastis untuk kawasan-kawasan dengan fasilitas maju dan aksesibilitas tinggi.
  3. Risiko pola pengembangan permukiman yang bergantung pada akses tol (Toll-Centric): Seperti kita ketahui pola pengembangan permukiman di kota-kota besar Indonesia cenderung bergantung kepada akses tol. Pembukaan akses tol baru akan melahirkan konsentrasi pengembangan yang berlebih. Contoh: Tol Desari membuat permintaan hunian di area Krukut dan Limo menjadi melonjak, padahal selama puluhan tahun cukup sulit mencari pembeli untuk area tersebut. Pengembangan aksesibilitas transportasi umum dapat menjadi mitigasi yang sangat baik untuk hal ini.

Kesimpulan

Kenaikan permintaan rumah tapak di Jabodetabek menandai adanya perubahan preferensi hunian bagi masyarakat perkotaan. Dengan infrastruktur yang makin terintegrasi dan peluang remote working yang terbuka lebar, maka rumah tapak di kawasan suburban kini menjadi alternatif yang tidak hanya rasional secara biaya, bahkan tetap strategis secara konektivitas. Generasi milenial dan keluarga muda semakin tertarik pada rumah tapak karena faktor kenyamanan, fleksibilitas, dan investasi jangka panjang yang lebih stabil dibandingkan apartemen.

Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada masa depan untuk pengembangan apartemen di area perkotaan. Justru sebaliknya, dengan semakin matangnya permintaan hunian di perkotaan, apartemen akan perlahan menemukan pasarnya yang tepat, bukan permintaan pasar yang dipaksakan pengembang atas dasar pertimbangan biaya atau jarak tempuh ke lokasi kerja. Hunian apartemen sewajarnya dipandang sebagai sebuah produk dengan karakteristik khas yang mampu menjawab kebutuhan dan gaya hidup bagi segmen-segmen tertentu.