Dampak Pertumbuhan Hotel Terhadap Krisis Air Tanah di Jogja
Oleh: Natasya Gracia
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Pulau Jawa yang terkenal kental dengan tradisi dan kebudayaannya. Hal ini terlihat dari kehidupan masyarakat Yogyakarta yang sangat menjunjung tinggi nilai adat istiadat dan norma. Selain itu nuansa tradisional masih sangat terasa di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, setiap tahun banyak wisatawan domestik dan internasional yang memilih Kota Yogyakarta sebagai destinasi wisata sehingga disebut kota pariwisata.
Kunjungan wisatawan yang terus bertambah selama 3 tahun terakhir (rata-rata 15% dari tahun 2012-2014) menjadi alasan para investor untuk membangun berbagai jenis properti di kota ini, salah satunya hotel. Maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta tampak dari jumlah hotel yang sangat banyak yaitu mencapai 419 hotel di tahun 2014 (hotel bintang dan non bintang). Keberadaan hotel dengan jumlah yang sangat besar secara bersamaan tentu memiliki dampak terhadap banyak hal, salah satunya kebutuhan air. Bayangkan bila satu hotel saja memiliki kebutuhan air yang banyak, bagaimana dengan banyaknya hotel yang beroperasi dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas mengenai pro kontra krisis air yang dialami warga selama beberapa tahun terakhir di beberapa area yang terdapat di pusat Kota Yogyakarta.
Pro dan Kontra Maraknya Pembangunan Hotel di Kota Yogyakarta
Peningkatan jumlah hotel di Kota Yogyakarta yang tinggi tentu menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak, mulai dari pemkot, peneliti, LSM, hingga warga lokal. Pemerintah Kota Yogyakarta melalui BLH beragumen membenarkan operasional hotel karena dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yang tidak akan menganggu sumber air dangkal masyarakat. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) berkata mereka memiliki kewenangan untuk memonitor, menegur dan memperingatkan hotel-hotel terkait. Namun rata-rata hotel yang bersertifikat sudah memiliki manajemen air yang baik.
Di sisi lain, menurut Gerakan Jogja Asat, sumur-sumur warga mengalami kekeringan sejak hotel terus bertambah. Mereka menjadi korban pembangunan hotel-hotel baru, salah satunya Fave Hotel. Menurut gerakan tersebut, sejak beroperasi 2012 silam sumur warga menjadi kering, padahal puluhan tahun yang lalu sumur tidak pernah kering meski musim kemarau. Penelitian Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) berpendapat bahwa tidak ada badan otoritas yang melakukan monitoring dan mengelola akuifer (lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air) Gunung Merapi sebagai sumber air tanah bagi daerah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Tekanan terhadap sumber daya air di kota Yogyakarta dan sekitarnya, seperti populasi, pariwisata, industri, perubahan ikllim, dan lainnya, menghasilkan kondisi penurunan permukaan air tanah, serta kontaminasi nitrat dan bakteri e-coli. Dalam hal pelayanan publik, PDAM di ketiga daerah ini juga sangat lemah. Sebagai ilustrasi, untuk kasus Sleman, hasil simulasi 10 tahun menunjukkan angka ekstraksi yang “terterima” adalah 28.968 liter/hari, sementara kebutuhan air minum (saja) untuk 1.114.833 orang warga Sleman mencapai 3.344.499 sampai dengan 4.459.332 liter/hari. Selisih angka ekstraksi air tanah terterima dan kebutuhan ini sangat jauh.
Selain itu, Dosen UPN Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan bahwa manajemen air yang tidak baik di hotel akan berpotensi mengurangi kualitas air dari air minum jadi air bersih. Pengelolaan limbah hotel yaitu limbah air, sampah, dan tinja, juga perlu dicek apakah sesuai dengan kebutuhannya. Dalam konteks bencana, tidak membangun hotel adalah pencegahan yang paling sempurna. Pendapat lain berasal dari Kepala Bidang ESDM DIY, yaitu permukaan air tanah di Yogyakarta telah mengalami penurunan 20-30 sentimeter pada kemarau panjang tahun 2014. Penurunan tidak semata-mata karena kemarau panjang, tetapi juga perkembangan wilayah dengan mendirikan bangunan-bangunan besar seperti untuk industri dan perhotelan di daerah resapan air yang menyebabkan debit air menurun. Bangunan-bangunan tersebut ada yang menggunakan air tanah, dimana seharusnya memakai PDAM dan PAM. Wali Kota Yogyakarta menyatakan telah membuat tim untuk melakukan penertiban terhadap hotel-hotel yang menggunakan air tanah. Tim tersebut antara lain terdiri dari Dinas Perizinan, Dinas Ketertiban, dan PDAM. Tim melakukan monitoring, bila ada hotel yang melanggar akan disegel. Perhimpunan mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam Jogja Student meneliti bahwa kebutuhan air di Yogyakarta tahun 2015 untuk rumah warga ada 120 liter per orang sedangkan untuk hotel mencapai 2-3 kali lipat yaitu 250-350 liter per orang.
Salah satu bentuk aksi protes warga tertuang dalam video diatas ini
Persaingan Perhotelan di Yogyakarta dan Sekitarnya
Hasil studi perhotelan yang dilakukan Real Estate Strategy pada tahun 2015 meununjukkan bahwa hotel-hotel berbintang 3 hingga 5 di area Yogyakarta memiliki rata-rata tingkat hunian hanya sekitar 60% sepanjang 2014-2015. Beberapa hotel yang tergolong top performer memang mampu mencetak occupancy diatas 70%, namun tidak sedikit pula yang hanya mampu membukukan occupancy dibawah 60%. Pengamatan tim riset kami akan proyek-proyek hotel berbintang yang sedang berjalan dan akan masuk ke pasar dalam beberapa tahun kedepan menunjukkan dominasi dari kelas hotel bintang 3. Hotel-hotel ini diperkirakan akan menyumbangkan tambahan lebih dari 2000 kamar. Pasokan hotel di Yogyakarta dan sekitarnya memang meningkat dengan pesat, sehingga kejenuhan pasar atau market saturation akan sangat sulit dihindari. Korban-korban pertama tentunya adalah hotel-hotel tua yang masih kesulitan untuk meremajakan diri. Merekalah yang akan dengan cepat tergeser oleh hotel-hotel baru yang lebih modern.
Setiap pengembangan hotel akan memiliki target pasar masing-masing. Ada hotel-hotel bisnis berskala besar yang berlokasi di jalan-jalan utama seperti Adisucipto atau Ring Road, ada hotel-hotel yang mendekatkan diri ke pusat aktivitas mahasiswa seperti area UGM atau Seturan, dan ada pula hotel-hotel yang mendekatkan diri ke pusat pariwisata turis asing seperti di area Prawirotaman. Profil tamu yang berbeda akan menghasilkan pola occupancy yang berbeda pula. Ada hotel-hotel yang bergantung kepada grup MICE dalam jumlah besar, sedangkan ada pula yang bergantung kepada turis-turis individu. Profil tamu dan penggunaan hotel berikut dengan tingkat hunian yang dicapai akan mempengaruhi penggunaan air bersih dalam properti hotel tersebut.
Peran Penting Pemerintah dan Pengusaha
Data BPS menunjukkan bahwa jumlah hotel non bintang 6 kali lipat dibandingkan jumlah hotel berbintang tahun 2014. Hotel-hotel berbintang dengan bangunan besar dan jumlah kamar mencapai ratusan cenderung tersertifikasi dengan baik sehingga memiliki kemungkinan kecil untuk menggunakan air tanah, karena kebutuhan debit air tinggi yang hanya dapat dipenuhi dengan jaminan pasokan air dari PDAM/PAM. Sebaliknya, dengan begitu banyak rumah warga yang beralih fungsi menjadi tempat penginapan/guest house/hotel non bintang, disinilah kemungkinan terjadinya penggunaan air tanah yang tidak terkontrol (belum beralih menggunakan PDAM/PAM).
Kejenuhan akan pasar hotel di Yogyakarta dan sekitarnya mungkin memang sedang berlangsung dan pemerintah setempat mungkin perlu mengontrol pemberian izin baru demi menjaga pasar perhotelan yang sehat. Namun menyalahkan krisis air yang dialami warga serta-merta sebagai akibat dari pengembangan hotel-hotel baru, terutama hotel-hotel berbintang yang sudah memiliki standar operasional yang layak, rasanya kurang tepat. Kasus keringnya sumur warga bisa jadi merupakan isu setempat yang tidak dapat digeneralisir, entah akibat faktor-faktor alami, resapan air yang berkurang akibat pola kehidupan masyarakat yang juga salah, maupun bisa juga akibat hotel-hotel kecil yang memang nakal memanfaatkan air tanah dengan tak bertanggung jawab.
Krisis air yang terjadi di Kota Yogyakarta pada dasarnya disebabkan oleh banyak hal antara lain musim kemarau, perubahan iklim (global warming), jumlah pembangunan baru yang terus bertambah yang menggunakan air tanah, kepadatan bangunan yang tinggi, dan lainnya. Pemerintah memiliki peranan penting untuk mengeluarkan keputusan/ kebijakan dan mengontrol pembangunan properti. Namun retrospeksi perlu dilakukan terutama terhadap kemampuan pelayananan PDAM setempat dan pengawasan yang ketat akan peralihan fungsi bangunan, agar dapat ditemukan solusi permasalahan yang lebih tepat untuk kedepannya tanpa harus terjadi saling menyalahkan. Pengusaha/ pengembang/ investor juga dapat berkontribusi dengan melakukan sustainable development atau pengembangan berkelanjutan yang mempertimbangkan tiga unsur yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Sebagai tambahan, LSM dan warga juga memiliki peranan yang positif untuk mengawal dan mengawasi dari dua sisi, baik dari kelayakan pembangunan-pembangunan hotel yang ada, maupun pembelajaran masyarakat akan pola penggunaan air dan pemanfaatan resapan secara ideal.